let me tell you a tale — The day she took a step closer
There are things in life that progress on their own, naturally. Something that can change and grow on its own, without the need for any interventions. Wild ivy on the outer wall of your house, for example. Even if you never plan to grow an ivy wall, you might end up having one because the ivy grows on its own. Some things would only progress if you took action. Your work salary, your exam grade, and your relationship.
It is common knowledge that for a relationship — any kind of relationship — to progress, someone needs to make a move. For a relationship to head somewhere, someone needs to direct the way. But simply making a move and showing a direction might not guarantee everything. Relationships are always a two-way route. You are not doing it alone and you cannot make decisions alone. To make the progress successful, everyone must accept the move and everyone must agree to be directed. You cannot take a step forward if the other person does not want you to come closer.
That's what happened with their relationship.
If people asked her about Heksa Samudera Khagi, Mentari would answer with this: a calm yet bright, incredibly smart, reliable person with a good sense of humor who will pull small tricks on you just because. He is good at sports but never had the stamina to stay consistent with any. He is the type that would force you into believing he is an alien for no reason, and you might question your common sense because of him. He would also likely cheat in a game so he could beat you, but he also would cheat to let you win. People around him, especially the ones he cares for, won’t need to be afraid of betrayal because he is a ride-or-die kind of friend. And he is a sweetheart. People who know him truly would agree that even though he can be a menace sometimes, he is the kindest soul who ever exist. Someone who will put others first before himself. Someone who will only care and care for others, while unconsciously forgetting himself.
But she did not learn all of that naturally, along with the time. In fact, she wouldn't have known any of that. Originally she did not plan to know any of that — and he never plan to let her know any of that either. And it almost seem as if she, indeed, was not supposed to know anything about him. They became comfortable with each other pretty fast. They spent around half a year being around each other. But no matter how long they talked to each other, how often they went to eat together, how much time spent together, their relationship just did not go anywhere. Their relationship stayed in place and probably would stay in the same place forever.
Their relationship never progresses until she took a step closer.
He did not show every side of him on purpose. Instead, she chose to learn that. She chose to remember every little thing about him. She chose to dig for information about him.
She chose to learn about him.
Seperti yang sudah direncanakan sebelumnya, Heksa dan Mentari pergi berdua untuk menikmati gelato selagi musim belum berganti menjadi angin dan hujan. Juga seperti yang direncanakan — dan dijanjikan, Mentari yang membayar sebagai birthday treat untuk Heksa. Sekilas, keduanya terlihat seperti pemandangan. Duduk santai di sebuah meja di area teras kedai gelato sambil menikmati sejuknya es krim, dan angin musim panas. Tapi kalau mengingat satu fakta yang terselip, bahwa semua ini terjadi atas unsur ketidaksengajaan, mungkin keduanya jadi tidak terlihat seindah itu.
“Padahal aku nggak keberatan kalau kamu ngelunjak.”
Terdengar obrolan ringan di antara keduanya. Sesekali, ada suara kicauan burung yang menjadi pengiring obrolan.
“Nanti aku ngelunjaknya minta dibeliin sushi sekalian sama restorannya sekalian, gimana?”
“Bisa aja, tapi aku anggap kupon traktir seumur hidup dipake semua.”
Kalau bercanda seperti itu, Mentari jadi lupa fakta bahwa ia mengetahui hari ulang tahun laki-laki itu secara tidak sengaja. Fakta bahwa seandainya tidak ada pesanan bunga yang datang, mungkin ia tidak akan pernah tahu bahwa kemarin laki-laki itu berulang tahun. Fakta bahwa ternyata, jangankan cerita dan rahasia, hal mendasar saja ia masih banyak tidak tahunya. Setelah setengah tahun berlalu, kenapa ia masih tidak tahu banyak ya?
“Tapi Samudera, kalau bukan karena ada orderan bunga, kayaknya jangankan sushi sama restorannya, sekedar gelato aja kamu nggak akan dapet.” Mulai Mentari beberapa saat kemudian, memilih untuk menyuarakan isi kepalanya saat ini. Ia melihat Heksa yang memasang ekspresi sedikit bingung sambil menunggu lanjutan perkataannya. “Soalnya aku nggak akan tau kalau kamu lagi ulang taun. Padahal kita udah lama kenal.”
“Iya ya, hehehe.” Hanya itu respon yang didapatnya. Seolah Heksa juga tidak tahu kenapa ada banyak hal dasar tentang satu sama lain yang terlewat. Namun tatapan bersalahnya di akhir menunjukkan bahwa ada alasan kenapa ada banyak hal yang terlewat — yang sengaja dilewat. “Aku juga nggak tau kamu ulang taun kapan.”
Memang, selama mereka saling mengenal dan berteman, tidak banyak informasi pribadi yang mereka ceritakan pada satu sama lain. Seolah keduanya memiliki kesadaran yang kuat untuk menjaga pertemanan mereka agar tidak keluar garis. Untuk Heksa, sudah jelas karena laki-laki itu pada dasarnya memang anak yang tertutup. Setidaknya itu yang selama ini Mentari percayai. Kalau untuk perempuan itu sendiri, mungkin karena ia merasa memang ada jarak di antara keduanya. Jarak yang harus dijaga, meski tidak begitu jelas letaknya di sebelah mana.
“Kayaknya selain ulang taun, ada banyak banget hal dasar yang nggak kita tau soal satu sama lain.” Balas Mentari.
Mentari jadi teringat perkataan Zoya suatu hari. Curiosity kills the cat, but the curiosity also kills the cat. Rasa penasaran itu kadang berakhir buruk. Rasa penasaran bisa membuatnya jadi malah terlibat dalam sesuatu yang seharusnya tidak ia ketahui. Rasa penasaran mungkin juga, malah membawanya pada kebenaran yang tidak menyenangkan. Tapi melawan rasa penasaran itu sendiri tidaklah mudah.
Melawan rasa ingin tahunya tentang Heksa Samudera Khagi itu tidak mudah sama sekali.
“Habis ini mau kemana?” Tanya Mentari sambil menyendok es krim yang tinggal setengahnya itu.
“Acaranya nggak selesai disini nih?” Balas Heksa dengan nada bercanda. “Aku nggak kepikiran apa-apa.”
“Kalau kamu nggak punya ide, pake ide aku aja.” Lanjut Mentari.
“Boleh.”
Ide yang dimaksud oleh Mentari adalah berjalan santai mengelilingi taman. Sebuah taman sederhana dengan pohon rindang di sana-sini, melindungi kepala dari terik musim panas. Tidak terasa, musim panas akan segera berakhir. Kadang, terasa berlalu dengan cepat.
Awal musim panas Mentari diwarnai oleh kedatangan Heksa ke dalam hidupnya, ke dalam ceritanya. Ia masih mengingat dengan jelas kali pertama keduanya bertemu saat sedang bekerja paruh waktu di tempat yang sama. Pertemuan pertama yang menjadi akar dari pertemuan-pertemuan selanjutnya. Mulanya mereka bertemu karena sama-sama sering mengambil pekeraan paruh waktu, dan berpapasan sesekali di area kampus. Kemudian keduanya menghabiskan waktu makan bersama, dan berangkat ke tempat kerja bersama; sebatas karena memang memiliki tujuan yang sama. Pertemuan beralasan itu kemudian berubah menjadi pertemuan tanpa alasan, tanpa rencana. Bertemu hanya karena ingin dan bisa; dan karena merasa nyaman dengan keberadaan satu sama lain. Tapi setelah banyaknya pertemuan itu, kenapa terkadang Heksa masih terasa seperti orang asing bagi Mentari?
Musim panas berlalu diwarnai banyak cerita. Entah itu pekerjaan paruh waktunya, toko bunga milik Oma-nya, ataupun pertemuannya dengan Heksa. Tapi disaat yang bersamaan, ia merasa banyak daru cerita-cerita itu yang terasa kosong. Seperti sebuah filler semata. Tidak banyak yang bisa dicari, dipelajari, diketahui, dan diingat. Cerita-cerita tentang Heksa Samudera Khagi.
Satu musim berlalu, tapi seberapa banyak yang ia tahu?
Keduanya kini duduk bersebelahan tidak jauh dari tepian danau. Sesekali semilir angin menyapa; kadang menimbulkan suara, kadang meninggalkan jejak pada rambut yang menjadi tidak beraturan. Di tengah suasana yang tenang itu, Mentari memecah hening.
“Ah, harusnya tadi makan es krim sambil tiup lilin ya?” Ujarnya setengah pada dirinya sendiri.
“Nanti lilinnya meleleh kecampur sama es krim.” Balas Heksa. Mentari tertawa pelan sambil mengangguk tanda setuju. Ia kemudian terpikirkan oleh sesuatu.
“Aku gak punya lilin, pake ini aja mau?” Perempuan itu mengeluarkan sebuah pemantik dari dalam tas-nya. Dalam hitungan detik, api kecil menyembul. Ia tersenyum sambil menyodorkan pemantik dengan api menyala itu pada Heksa. “Make a wish.”
Heksa terkekeh pelan atas ide kecil itu, namun tetap memejamkan matanya dan membuat permohonan. Mentari mengambil waktunya untuk menikmati pemandangan di depan matanya sekarang. Selalu, Heksa terlihat begitu tenang. Ia kadang pensaran, apakah karena itu ia dinamai Samudera? Karena memang tenang seperti samudera. Atau, apakah ia dinamai Samudera karena bisa memberikan ketenangan samudera pada orang-orang disekitarnya? Satu menit kemudian ia membuka matanya kembali dan meniup api dari pemantik tersebut.
Semoga selalu dikelilingi hal-hal baik, Samudera.
“Makasih ya, Tar.”
Dan saat melihat senyumnya, rasa penasaran itu muncul lagi.
Kalau boleh jujur, rasa penasaran itu sudah ada sejak lama. Mungkin sejak awal keduanya saling mengenal. Rasa penasaran itu terhalang oleh status hubungan keduanya, dan terhalang oleh pikirannya sendiri. Ia merasa penasaran dan ingin mencari tahu, tapi secara bersamaan ia berpikir bahwa dirinya berlebihan — bahwa Heksa tidak lebih dari manusia biasa, seorang teman pada umumnya.
“Was it a happy birthday you had?” Tanya Mentari beberapa saat kemudian, membuka obrolan yang baru.
“Hmm ukuran bahagianya apa?”
“Kamu ngerasa seneng sama apa yang kamu terima di hari ulang taun kamu.”
“It was a happy birthday, then.” Ujar Heksa sambil tersenyum simpul.
Dan seperti sebelumnya, rasa penasaran itu muncul kembali saat Mentari melihat senyuman yang terukir di bibir laki-laki itu.
“Temenku bilang kamu misterius.” Lanjut Mentari lagi.
“Yang pernah papasan sama aku?”
“Iya.” Perempuan itu mengangguk sambil mengalihkan pandangan, menatap danau di hadapan keduanya. “Kamu keliatan kayak orang yang rahasianya banyak. Atau orang yang informasinya minim banget.”
“Hahahaha, jadi mencurigakan banget kesannya.” Respon Heksa yang kini juga menatap danau.
“Awalnya aku nggak terlalu nanggepin dia.” Lanjut Mentari. “Tapi kalau dipikir-pikir, kamu emang semisterius itu.”
Kalimat Mentari kali ini membuat Heksa menoleh padanya dengan tatapan ingin tahu.
“I've known you for over a semester, but at the same time I still feel as if I didn't know you at all.” Mentari pun kini ikut menoleh, membuat pandangan keduanya bertemu. Ia menatap Heksa dengan tatapan serius yang mendalam. “Kamu emang misterius banget, Samudera.”
Rasa penasaran itu tidak mudah hilang dengan sendirinya. Rasa penasaran itu sendiri ada untuk dijawab. Begitu pula dengan rasa penasarannya. Karena itu, sekarang ia ingin berpihak pada rasa penasaran itu.
“Aku penasaran tentang kamu, Samudera.”
Ia ingin tahu tentang banyak hal. Tentang kenapa laki-laki itu memilih jurusan Manajemen Bisnis, tentang kenapa laki-laki itu menerima banyak bunga dan cokelat, tentang kenapa laki-laki itu membicarakan rasa langit, tentang kenapa laki-laki itu tidak banyak bercerita tentangnya. Ia ingin tahu lagi dan lagi seolah apapun yang sudah diketahuinya sekarang tidak cukup menjawab rasa penasarannya. Dan entah kenapa ia merasa yakin bahwa memang semua itu belum semua jawaban yang bisa Heksa berikan.
Tapi apakah jawaban itu bisa didapatkan dengan sukarela?
Mentari tersadar bahwa sebanyak apapun waktu yang dilalui bersama, tidak semata menjawab rasa penasarannya. Semua waktu — obrolan ringan yang aneh, hari-hari kerja paruh waktu, makan siang bersama — yang dilalui bersama dengan Heksa Samudera Khagi tidak memberinya banyak jawaban. Ia tidak akan mendapat jawaban apapun hanya dengan diam dan mengamati. Karena itu, ia harus melangkah dengan kedua kakinya sendiri.
She decided to take a step closer.
“Aku penasaran tentang kamu, dan aku pengen tau lebih banyak tentang kamu.”
Tapi, sekali lagi, apakah jawaban itu bisa didapatkan dengan sukarela?
“Aku nggak punya cerita yang seru dan inspiratif.”
Sebuah senyum simpul dan tatapan jenaka diberikan, berbanding dengan raut serius dan tatapan mendalam yang dilayangkan oleh Mentari. Satu lagi hal yang Mentari pelajari tentang laki-laki di depannya itu. Heksa menghindari topik pembicaraan dengan melontarkan candaan. Seperti ingin membuat lawan bicaranya jadi berpikir bahwa ceritanya tidak seberapa, dan tidak penting untuk dibahas.
“Udah sore, pulang yuk, Tar.”
She took a step closer, he took one further.