let me tell you a tale — The dangerous game


They say unrequited love is a dangerous game. It is filled with uncertainty and risk. Risk of ruining a friendship, risk of losing someone, risk of getting a broken heart. It is an all-or-nothing game. If you want to play then you must brave yourself for the worst. The moment you step into the game, you are committed to the risk — you are committed to loss. The moment you play this game, you are destined for the worst scenario. The only way to avoid the risk is to win the game. But you cannot win the game just because you are good at it. You cannot win the game with only a good amount of love. Some variables and circumstances can easily beat your love — they can defeat you anytime. Therefore it is called a dangerous game.

Mentari did not know much about games, whether it be physical games like sports, board games, card games, or software games. She wasn't good at playing games either, especially ones with a target. She rarely played games but if she was to flaunt her gaming skills, she was proud to say that she was good at Uno cards and The Sims. But her luck of avoiding plus cards and her creativity in building houses said nothing about her fate in a love game. As mentioned earlier, she's bad at games with a target. Her zero experience in romantic relationships said nothing either. The variables and circumstances surrounding her and Samudera Khagi only made it worst. A good happy ending almost seemed like a myth. Keyword almost.

A win was almost impossible, but the possibility was never zero. She could lose the game. She could lose everything. She could lose him and everything they had. But what if she did not? What if she won? If she never try, she would never know, right? So, like any other unrequited lover, she wants to take the chance.


Sejak dibangun, gedung parkiran ini sering menjadi tempat “nongkrong” para mahasiswa di waktu sore menjelang malam. Lantai teratas gedung ini disebut sebagai tempat terbaik untuk melihat senja di antara semua rooftop yang ada di seluruh area kampus Universitas Sentosa. Transisi langit senja menuju pertunjukan cahaya kota adalah pemandangan yang tidak bisa didapatkan di mana saja, maka menjadi terlalu cantik untuk dilewatkan. Meskipun ada pula yang menghabiskan waktu di tempat ini sekadar untuk menikmati semilir angin, dan kesunyiannya. Ada pula yang mampir karena seseorang yang dicarinya sedang berada di tempat ini.

“Kamu sering diem di sini sendirian?” Mentari melontarkan pertanyaan pada Samudera di sebelahnya. Sudah lima belas menit berlalu sejak ia tiba dan menemukan Heksa yang berdiri bersandar pada dinding tepian rooftop sambil menatap langit. Dua cup berisi iced americano bertengger bersebelahan di atas dinding pembatas. Selain sapaan dan basa basi, ini adalah percakapan pertama keduanya.

“Kalau cuacanya lagi bagus aja.” Jawab laki-laki yang masih sibuk menatap langit itu. “Kalau cuacanya bagus, pemandangannya jadi bagus juga.”

Kali ini, Heksa mengalihkan pandangannya. Menatap jejeran gedung dan pemukiman yang sedang diwarnai oleh senja. Laki-laki itu bertopang dagu dengan satu tangan sambil memperhatikan setiap bangunan yang nampak dalam pandangannya. Mentari di sebelahnya pun kini ikut bertopang dagu.

“Iya, pemandangannya bagus.” Komentar perempuan itu dengan nada yang mengisyaratkan kekaguman. Namun pandangannya tidak tertuju pada hamparan pemukiman dan perkotaan di depan sana, melainkan pada laki-laki di sebelahnya. “Bagus banget, cantik.”

Pandangannya tertuju hanya pada Heksa Samudera Khagi; pada rambut hitam legam yang sekilas terlihat keemasan berkat sinar matahari, pada hidung mancung dengan ujung lancip, pada bibir yang mencetak senyum simpul, pada sisi wajah Heksa Samudera Khagi yang terlihat seperti sebuah patung pahatan — sebuah karya seni. Samudera Khagi terlihat seperti mimpi.

Mentari menjadi semakin yakin bahwa rupanya ia sudah tertarik sejak awal. Sejak awal ia menghabiskan lima menit untuk memeprhatikan pegawai paruh waktu yang baru datang, sejak awal ia menyapa dan mengajaknya bicara, dan sejak awal sejak pertama kali muncul keinginannya untuk mencari tahu seperti apa kilasan kilasan hidup dari seorang Heksa Samudera Khagi.

“Kenapa suka sendirian, Samudera?” Lontar Mentari beberapa saat kemudian. Laki-laki itu menoleh dengan raut bertanya, meminta elaborasi lebih jauh. “Makan sendirian, duduk di pinggir danau sendirian, sakit sendirian, diem di rooftop sendirian. Selain karena nggak banyak temen, kenapa?”

“Kenapa ya...” Laki-laki itu memiringkan kepalanya sambil terlihat berpikir. “Lebih tenang aja.”

“Hidup sendirian lebih tenang?”

“Iya.” Angguknya, kini menoleh pada Mentari. “Bukan tenang dalam artian nggak berisik ya. Tapi kalau sendirian itu, aku jadi nggak cemas soal orang lain. Mau sedih mau bahagia, mau sehat mau celaka, aku nggak perlu cemas orang lain ikutan kena.”

“Kamu bohong soal kamu manusia biasa ya, Samudera?”

“Waduh, bohong gimana tuh?”

“Kepala kamu isinya lebih dari sekedar makan, futsal, kuliah, basket, kerja, kucing kampus, dan promo makanan.” Mentari menatap laki-laki itu dalam dalam. “You are definitely more complex than that.

“Kalau terlalu susah, ya nggak usah dipelajarin, Tar.” Begitulah respon singkat dan penuh isyarat yang keluar dari mulut laki-laki itu.

Mentari melihatnya dengan jelas, ketidakjelasan tentang Heksa dan tentang keduanya. Ketidakjelasan tentang seperti apa sebenarnya Heksa Samudera Khagi itu, berikut apa arti dari hubungan keduanya sekarang. Hubungan yang tidak bisa diukur dengan pasti, tapi juga terasa samar saat dirasakan. Mentari melihat bagaimana dirinya menyentuh dinding yang tidak bisa sembarangan disentuh, melihat sisi yang tidak Heksa tunjukkan ke semua orang—sembarang orang, dan menerima apa yang belum tentu didapat oleh semua orang. Tapi ia juga melihat, bahwa lagi-lagi, hubungan itu tidak bergerak kemanapun. Hubungan keduanya tidak akan bergerak kemanapun kalau tidak ada yang mengambil langkah. Tetapi Mentari juga melihat dengan jelas, ketidakjelasan dalam arah dan jalan yang terbuka untuk keduanya. Ia melihat betapa kabur jalan cerita yang sedang dijalaninya; tidak ada opsi langkah yang jelas.

Everything was unclear, and that's what made it dangerous. Unrequited love was all about obscurity, and uncertainty, surrounded by the possibilities of losing something; therefore it was called a dangerous game.

“Apa ini alesan kamu nggak pernah nerima ungkapan perasaan itu? Karena sendirian lebih tenang?” Pertanyaan itu hanya dijawab oleh sebuah senyuman simpul.

Dan Mentari juga melihat dengan jelas, kemungkinan akhir dari cerita yang kabur ini. Kemungkinan akhir dari cinta yang sepihak, dari cinta yang muncul untuk seseorang yang terlihat tidak ingin dicintai. Mentari bukan jagoan basket seperti Heksa, tetapi ia bisa melihat jelas puluhan kemungkinan lemparannya meleset. Tapi selama ia melihat ring, gawang, atau papan target, ia tetap memiliki kesempatan untuk mencetak skor bukan? Maka kali ini, Mentari bukan hanya melangkah maju, tetapi juga melempar tembakannya.

“Gimana kalau aku yang confess?” Kalimat itu menarik perhatian Heksa dalam hitungan detik. Laki-laki itu menoleh perlahan, namun masih terlihat tenang.

“Hm?”

She stepped into the dangerous game, and she tried a shot.

“Gimana kalau aku jatuh cinta sama kamu, Samudera?”

Kalimat itu diucapkan dengan pelan dan lembut, terdengar seperti sebuah pertanyaan ringan dan sederhana. Diucapkan di tengah keheningan, sehingga terdengar dengan sangat jelas. Mentari melihat bagaimana Heksa Samudera Khagi perlahan kehilangan ketenangannya, raut wajah laki-laki itu berubah bingung dan kaget. Berbanding terbalik dengan raut tenang namun serius yang terpasang di wajah Mentari.

“Gimana, Tar?”

Kali ini Mentari mengubah posisinya. Ia memutar tubuhnya menghadap Heksa dan bersandar menyamping pada dinding pembatas. Kedua tangannya bersilang di depan dada.

“Gimana kalau aku jatuh cinta sama kamu?” Ulang Mentari dengan nada yang lebih serius. Selang beberapa detik kemudian, ia menekankan lagi. “Aku jatuh cinta sama kamu, Samudera.”

Funny it took one basketball match to made her fall in love with him. They spent so many times together, enjoyed every moment and gathered valuable memories. Yet, it took her watching one basketball match to realize that she was indeed in love with him. She had seen many versions of him; the unenthusiastic yet hardworking part-timer, the smart and intelligent university student, the unserious but super kind friend, the seemingly selfless person who never prioritize himself. She had seen many versions of him but it took her one sweaty-hair tousled-athletic Heksa to decide her feeling for him.

Love works in a unique and unpredictable way.

Keduanya diselimuti oleh keheningan. Suara hiruk pikuk yang berasal dari jalanan penuh kendaraan pun seolah tidak terdengar oleh keduanya. Heksa masih memiliki raut bingung dan kaget di wajahnya. Mungkin ini pertama kalinya Mentari melihat ekspresi wajah Heksa Samudera Khagi yang seperti ini: kaget, bingung, tidak tahu harus apa dan berkata apa. He was flabbergasted. Sedangkan Mentari masih menatapnya dengan serius dan tenang. Muncul sedikit kelegaan karena ia mengucapkan kalimatnya dengan lancar. Namun perlahan, debaran kencang mulai terasa olehnya. Bohong kalau bilang ia merasa setenang kelihatannya. Nyatanya, perempuan itu berdiri dengan jantung yang berdebar. Memiliki keberanian untuk melangkah, untuk mengungkapkan perasaannya tidak berarti ia tidak akan merasa gugup dalam prosesnya. Nyatanya, keberaniannya tidak langsung mengalahkan rasa gugupnya tentang jawaban yang akan didengarnya. Jantungnya semakin berdebar saat ia melihat perubahan pada ekspresi wajah laki-laki itu, yang perlahan mulai kembali tenang.

Dan saat Samudera Khagi memasang senyum simpul di wajahnya, Mentari tahu bahwa jawabannya tidak akan bagus.

“Kalau aku bilang nggak boleh, gimana?”

Akan menjadi sebuah kebohongan besar kalau Mentari bilang jawaban itu tidak terdengar mengecewakan. Meskipun ia tahu di mana harus menaruh ekspektasinya, ia juga hanya manusia biasa yang ingin berharap—ia juga tetap perempuan naif yang ingin berharap. Ia sadar ketidakjelasan dari langkah yang diambilnya namun tetap saja, ia berharap jawabannya sedikit lebih menyenangkan.

“Kenapa nggak boleh?” Untungnya, ia bisa menyembunyikan kekecewaaannya dengan baik. Kini, Heksa pun ikut menghadap ke arahnya, meniru posisinya. Selagi laki-laki itu memikirkan jawaban, Mentari melanjutkan. “Are you seeing someone? The anonymous flowers?

Perempuan itu menunggu jawaban dengan harap harap cemas. Lagi-lagi tersembunyi rasa gugup dan takut dibalik nada percaya dirinya.

“Enggak, nggak ada siapa-siapa.” Geleng Heksa dengan nada bicara yang meyakinkan–yang berusaha meyakinkan.

You don't like me, then?

“Makna kata nggak suka dan suka disini apa? Kalau nggak suka dalam artian benci, ya pastinya enggak. Kalau nggak suka ya nggak mungkin aku ada di sini sekarang.”

“Kalau gitu kenapa nggak boleh, Samudera?” Kali ini, nada bicara Mentari terdengar lebih serius, lebih memaksa.

“Emang temen kamu nggak ada yang ngasih peringatan?” Laki-laki itu memberinya tatapan yang serius. Sepertinya, ia sudah pulih sepenuhnya dari keterkejutan dan mulai kembali memutar otaknya.

“Soal apa?”

Ada jeda yang lumayan setelah Mentari melontarkan pertanyaan itu. Selama jeda itu, Heksa menatapnya dalam, penuh keseriusan, seolah mencoba menelisik isi kepala dari perempuan di hadapannya. Tetapi Mentari menolak untuk menunjukkan apapun selain keseriusan, kegihihan, dan rasa ingin tahu. Ia tidak mau Heksa membaca debaran jantungnya, rasa gugupnya, apa lagi kekecewaannya. Akhirnya, laki-laki itu menghela napas dan menjawab.

“Soal aku.”

She got some, actually. She got warnings from her best friend along with reasons why she should not fall in love with him. She heard arguments about why falling in love with him was equal to getting a heartbreak. And it was interesting how he knew people would assume those things about him. It was interesting how he knew her friend would warn her about it. He basically admitted that he had something hidden. But amongst clear possibilities of her love got rejected, she chose the unclear ones that said nothing about being rejected nor accepted.

“Jadi kamu beneran bohong waktu bilang nggak ada apa-apa soal kamu.” Mentari melontarkan senyuman pahit. Heksa terlihat mulai melayangkan tatapan tidak enak. Namun ia tidak menyangkah atau menyetujui tuduhan itu.

“Aku bukan pilihan yang bagus buat jatuh cinta, Tar.” Heksa bicara lagi setelah beberapa saat. “I can’t fall in love—I can’t do love right now.”

Zoya was right, Mentari was right, their prediction was right. Her opponent was not pretty girls or a cold heart but a life. Her opponent was his own life, himself. Frankly speaking, she could beat any pretty girl — she already did. She could melt a frozen heart — his was already warm. But she could never win against his own life and everything within. She could never win against him. She was full of love, ready to love anyone at any time. He was in a battle and love was not in any of his survival plans.

But giving up easily was not in her plans either.

“Nggak harus dipikirin sekarang, kok.” Raut optimis kembali muncul pada wajah perempuan itu. Senyum pahitnya hilang, tatapan sendunya berganti penuh harap. “Nggak harus diterima sekarang, apalagi dijawab dan dibales perasaannya sekarang.”

“Nggak bisa gitu, Tar...” Kali ini, Heksa berbicara dengan sedikit lebih tegas. Ada guratan memohon dalam tatapannya. “Tar, ini bukan ide bagus sama sekali.”

Mentari menatap Heksa dengan alis yang terangkat, meminta laki-laki itu memberikan penjelasan lebih. Namun laki-laki itu tidak memberi penjelasan lebih — memilih untuk tidak memberi penjelasan lebih.

“Aku nggak bisa, Tar.” Kalimat itu keluar bersamaan dengan sebuah helaan napas. Meskipun begitu, laki-laki itu tetap mempertahankan ekspresi tenang, tidak memberikan kesempatan bagi Mentari untuk membaca apapun isi kepalanya saat ini.

“Kenapa nggak bisa, Samudera?”

Love was a dangerous game, and she was in danger of losing him.

“Aku juga nggak bisa jawab pertanyaan yang itu.”


It was the start of the game — the start of the unpromised happy ending she was wishing for.