let me tell you a tale — How they deal with unrequited feelings
One of the things about feelings is, they can be uncontrollable. Most of the time, they are uncontrollable. People get trapped in complicated relationships and hide behind the defense that they can't control their feelings. Everything just happens. People put others in a complicated and hard situation then they process to hide behind the defense that they're unable to control their feelings. Some others become the victims of the so-called uncontrollable feelings — of the uncertainty, the danger. Can we blame them, though?
Can we blame them, knowing damn well that we're just a mere human —flooded with emotions and desires all over our veins and vessels— that supposed to feel? Can we blame them, knowing damn well that we're all born with the same instincts to love and to desire something—someone, and that we're all weak to resistance? And the thing about feelings is, they are uncontrollable but we have to deal with it anyway.
It was impossible for Mentari to forget about the situation of her relationship with Heksa. It was impossible for her to forget that their story wasn't happy yet, it wasn't started yet. They were still in the middle of somewhere trying and figuring out everything. But there were times when she ignore them. There were a lot of times when she chose to ignore the reality underlying their relationship. That falling for him was a dangerous game and she would have to deal with the danger later. That the dangers seemed to be getting closer and closer. Sometimes, she chose to ignore the signs.
Because her feelings were uncontrollable.
Being aware of the dangers that surrounded their relationship wasn't the same as having control over it. She could spend days analyzing their relationship over and over again, finding the flaws, spotting the dangerous zone, calculating the risk; she could spend days trying to get control over her feelings and she'd fail immediately. She didn't want to control her feelings. She'd rather go crazy from finding the solution to solve their relationship's puzzle than control her feelings for him.
And it seemed like his feelings were uncontrollable too.
It might be all in her head but she could swear that sometimes, they looked like they were in love. Sometimes they looked so pretty, so happy as if they were always been like that and were supposed to be like that. She could swear that there were times when Samudera Khagi not only allowed her to love him but also allowed himself to love her —at least to try to love her. There were times when he let his intrusive thoughts, his uncontrollable feelings, his true wishes, and his selfish desires, took control over him. But then there were also times when he chose to put everything under control. There were times when he did not let himself follow his heart. The times when he drew lines between them.
Their feelings were both uncontrollable, what differentiates them was how they dealt with them.
Mentari tidak pernah membayangkan, adegan dirinya berdua di dapur bersama dengan orang yang disukainya, bercerita tentang hari masing-masing, sambil memotong-motong sebuah semangka di malam hari. Adegan yang terlalu specifically ridiculous. Tapi, jadi sesuatu yang biasa kalau orang yang dibicarakan adalah Heksa Samudera Khagi.
Benar, saat membuka pintu rumahnya, perempuan itu mendapati seorang laki-laki dengan setelan olahraga — kaos dan celana pendek, duduk di teras dengan sebuah — satu bulatan utuh — semangka dalam pelukannya. Wajahnya tersenyum sumringah, seperti kebanyakan waktu ia melihat laki-laki itu. Walaupun menurutnya, senyum itu sedikit tidak cocok dengan wajah tirus atau mata lelahnya. Dan di tengah lelah yang kentara itu, laki-laki itu malah jauh jauh mendatangi rumahnya — dan jangan lupa soal sebuah semangka di tangannya. Samudera Khagi selalu tidak pernah bisa ditebak. Selalu tidak pernah bisa dibaca dan dipelajari sepenuhnya.
“Terus aku tanya, emang nggak bisa yang ini dibelah dua? Katanya nggak bisa. Yaudah aku beli semuanya.” Begitu ceritanya tentang alasan dirinya membeli sebuah semangka utuh.
“Tapi kenapa semangka, Samudera? Musim panas udah lewat.” Tanya perempuan yang sedang memotong-motong buah menjadi bentuk segitiga kecil.
“Telat berarti ya?”
Musim panas sudah berlalu. Begitu pula langit biru jernih, awan putih tebal, dan matahari yang terang menyengat. Begitu pun cerita cerita musim panas yang menyegarkan, yang ceria. Beberapa waktu lalu, musim masih tidak menentu. Kadang sepanas musim panas, kadang begitu kelabu seperti musim dingin. Begitu pula cerita yang jadi tidak menentu. Bisa begitu ringan, begitu terlihat baik — terlihat bahagia seolah memang sudah seharusnya begitu. Bisa juga terlihat seperti langit mendung sebelum hujan deras. Belakangan ini hanya ada mendung di langit. Begitu pula dengan cerita yang terlihat akan mendarat pada titik gelapnya. Mereka mendarat di musim dingin.
But it seemed as if both were holding onto summertime. They refused to let go — if only they were to follow their heart.
“Kemana aja, Samudera?” Pertanyaan itu datang bersamaan dengan sepiring penuh semangka yang tersaji di meja. Sejenak, mengundang keheningan. Suasana kompleks perumahan yang dasarnya sudah sepi, televisi yang dimatikan, dan dua mulut yang terbungkam.
Tap
Tap
Tetesan air yang jatuh dari keran wastafel yang belum ditutup rapat membuat atmosfer menegang. Buah di piring belum disentuh, mulut belum dibuka. Hanya ada dua pasang mata yang saling menatap. Yang satu melayangkan tatapan teduh, namun bersalah. Yang satu lagi bertanya-tanya dengan tegas sambil berusaha mencari jawaban lewat sorot mata. Beberapa saat kemudian, Heksa tersenyum. Sebuah senyum meruntuhkan dinding tensi yang tegang itu. Senyum yang begitu teduh, begitu lembut, sampai sorot mata Mentari pun melunak.
“Makan semangka dulu ya.” Ucapnya sambil menyodorkan garpu pada Mentari. Ia pun menyerah untuk sementara dan membiarkan laki-laki di depannya mengatur obrolan mereka hari ini — as if she could ever maintain her defense in the first place. “Wah, manis.”
“Aku bingung dan khawatir kamu ngilang, kamunya malah asik belanja semangka ya?” Canda perempuan itu.
Mentari mengambil sepotong semangka dan memakannya. Sangat manis dan segar. Sejenak, untuk sejenak saja, ia melupakan semua tentang yang terjadi hari ini. Tentang Heksa yang muncul kembali setelah menghilang selama dua minggu, juga tentang kedatangannya untuk membicarakan semuanya — whatever was counted in that everything. Seperti pemanis yang menyeimbangkan situasi yang sedikit pahit sekarang. Setelah menyelesaikan sepotong semangka, Heksa membuka mulutnya.
“Baru baru ini aku gantiin temen ngajar privat anak kecil.” Mulainya, menarik perhatian Mentari. “Dia cerita katanya taun baru nanti dia ke Turki. Terus dia nanya, aku pernah ke Turki nggak. Aku jawab nggak pernah, soalnya mahal dan ribet. Terus dia bingung, soalnya dia taunya kalau mau ke luar negeri itu tinggal pergi aja, dan semua orang bisa.
Yang satu lagi cerita kalau dia belakangan ini bikin kebun bunga kecil di halaman, buat peri-peri transit kalau lagi capek. Dia habis nonton film Thumbelina. Dia nggak tau kalau yang lagi transit di kebun bunganya itu lebah sama kupu-kupu.”
“Children and their innocence.” Komentar Mentari. Bibirnya membentuk senyum simpul. Padahal dalam hati ia sibuk mevisualisasikan Heksa yang mengajar anak kecil. Sedangkan kepalanya sibuk menebak, kenapa obrolan keduanya dimulai dengan cerita ini.
“Nah menurut kamu, lebih bagus mereka nggak tau apa-apa kayak gitu dan seneng seneng aja sama apa yang mereka percaya, minusnya jadi nggak peka sama realita; atau mending dikasih penjelasan biar ngerti, tapi nantinya mereka sedih karena temen-temennya nggak bisa ikut ke luar negeri atau nggak ada peri mini di kebunnya?”
Mentari tertegun sebentar. Ia tidak akan pernah bosan untuk bilang bahwa Samudera Khagi tidak bisa ditebak. Pikirnya, awalnya, laki-laki itu hanya bercerita. Berbasa-basi bercerita tentang kesehariannya, sebagai bentuk ice breaking sebelum masuk ke percakapan yang sebenarnya. Setelah pertanyaan itu muncul, barulah Mentari menyadari apa yang sedang disampaikan. Lebih baik tahu kebenaran sebenar-benarnya tapi tidak sepenuhnya bahagia, atau lebih baik tertawa ria dalam ketidaktahuan. Itu adalah pertanyaan sebenarnya.
“Sebagai anak-anak, aku lebih milih buat percaya dunia itu isinya peri, putri, dan pelangi. Aku juga nggak akan peduli sama sistem-sistem di dunia ini. Karena kanak-kanak itu masanya buat bermimpi dan berharap.” Jawab Mentari, yang juga sudah menyelesaikan sepotong semangka yang tadi diambilnya. “Tapi aku dan kita bukan anak-anak. Kita nggak segampang itu buat percaya, Samudera.”
Dan kita harusnya — mau tidak mau — dihadapkan pada realita, kebenaran, bukan dijejali oleh dongeng utopia.
“Aku nggak gampang percaya sama kamu.” Lanjut Mentari. “Dari setiap cerita, setiap informasi, setiap jawaban yang pernah kamu kasih ke aku, aku nggak tau sejauh apa jujurnya dan sejauh apa bohongnya. Aku lebih nggak tau lagi sebanyak apa yang nggak kamu kasih ke aku.”
Lampu di dapur menyala dengan remang-remang. Tetapi Mentari masih bisa melihat sosok laki-laki di hadapannya dengan jelas karena ada cahaya dari ruang tengah yang tidak bersekat dengan dapur itu. Ia bisa melihat bagaimana Heksa melipat kedua bibirnya rapat, seolah menahan kata yang mungkin kekuar tanpa izin logikanya. Seperti Mentari yang mengambil sepotong semangka lagi agar mulutnya jadi sibuk untuk mengucapkan kata yang diinginkan oleh hatinya.
Tentang bagaimana ia mencari cari laki-laki itu, tentang bagaimana ia memikirkan kabarnya, dan tentang bagaimana ia merindukannya. Ia ingin bertanya lebih dari sekedar apa kabar. Ia ingin bertanya bagaimana kesehatannya belakangan ini, apa saja kegiatannya dua minggu ini, apakah ia selalu sendirian, apa ia sedang mengalami suatu masalah, apakah ia pernah memikirikan dirinya? Bahwa dibanding menuntut kebenaran, ia lebih ingin untuk menghujani laki-laki itu dengan rasa khawatir, rasa peduli, dan kalau boleh, kasih sayang.
Tetapi perasannya semata tidak bisa membawa hubungan ini kemanapun. Pada akhirnya selalu ada logika yang harus bertindak. Memutar otak memilah dan memilih langkah yang tepat. A relationship couldn't progress on its own, and she learned that she needed more than emotions.
“Aku nggak banyak bohong, kok. Tapi emang nggak jujur jujur banget juga.” Mulai Heksa dengan tenang, walaupun wajahnya menyiratkan sedikit cemas dan tidak nyaman. Percakapan ini rupanya bukan sesuatu yang ia nantikan. “Alesannya masih sama, karena nggak perlu kamu pikirin. Karena nggak perlu tau dan lebih baik nggak tau.”
“Aku nggak perlu tau kemana aja kamu selama ini?” Mentari menurunkan pandangannya. Senyuman pahit terukir di wajah. She was far from destroying his defense walls, let alone stepping inside the boundary. She was merely touching it. Meskipun begitu, ia tetap ingin tau. Meskipun katanya tidak perlu tahu, ia tetap ingin tahu. “Kamu kemana aja, Samudera?”
Gimana hari-harinya? Apa belakangan ini berat? Langit kamu mendung nggak? Tidur kamu nyenyak nggak? Makan apa siang tadi? Kamu sering senyum nggak belakangan ini? Nggak lupa bawa payung kan? Ngapain aja weekend kemarin? Kenapa nggak baca chat dari aku? Kamu kemana—
“Aku ada.” Jawab Heksa singkat. Melihat ketidakpuasan pada wajah Mentari, ia menambahkan. “Aku ada, aku masuk kuliah terus, aku nggak sakit, aku masih sempet nyapa kucing-kucing di kampus malah.”
Ada kelegaan sekaligus sedikit — sedikit sekali — rasa sakit yang menusuk mendengar jawaban itu. Merasa lega karena meskipun terlihat kelelahan, laki-laki itu selama ini menjalani hidupnya seperti biasa. Sedikit sakit karena jawaban itu artinya sama saja dengan pengakuan bahwa Heksa menghindarinya — dan karena jawaban itu belum semuanya.
“Kalau ada dan nggak kenapa-kenapa, harusnya nggak sampai hilang.” Komentar perempuan itu.
“Aku nya nggak kenapa-kenapa.” Balas Heksa. “Ada beberapa hal yang harus aku urus, tapi bukan sesuatu yang perlu kamu tau.”
Secercah harap tentang hubungan yang baik-baik saja kini sudah tidak terlihat hilalnya sama sekali. Hati yang pernah dengan sangat percaya diri menantang jalur yang tidak jelas itu, hati yang pernah dengan gegabah berkata siap pada segala resiko itu, kini menciut. Ternyata ia tidak siap sama sekali.
She wasn't ready to deal with the risk of unrequited love.
“Pertanyaan yang tadi masih berlaku kan?”
But he was ready.
Tubuh ramping itu kembali menegang. Jemarinya menggenggamn satu sama lain di atas meja. She could sense something was coming — she could sense it the moment he showed up on her porch. She was always knew, from the moment she stepped into the game. The danger was coming. Speaking of it, the signs were actually there. They were always there. But she ignored it. She ignored the signs of their downfall just like how she ignore the signs of her falling in love. Sekarang ia tidak bisa berlari dan mengabaikan lagi. Mentari mengambil napas dalam-dalam.
“Jadi jawaban dari pertanyaan aku apa?”
Tap
Tap
Suara tetesan yang jatuh dari keran di wastafel mengisi hening seperti sebuah timer. Menghitung mundur akan ledakan. Jemari yang saling menggenggam tadi kini sibuk memainkan satu sama lain, gugup. Merasa gugup untuk sesuatu yang sebenarnya sudah diprediksi sejak awal.
“Enggak bisa dan nggak akan bisa—” Jawaban yang diucapkan dengan tenang namun tegas itu seketika memekakan telinganya. Jantung Mentari sudah mencelos bahkan sebelum kalimat itu selesai. Padahal sekali lagi, semua ini bukannya berada di luar prediksi, melainkan sesuatu yang datang sepaket dengan unrequited love. Namun napas yang tercekat itu dilepaskan kembali saat ia mendengar lanjutannya. “—itu jawaban bohongnya.”
Mentari berkerut kening, bingung. Heksa memberinya tatapan yakin seolah mengiyakan pemahaman perempuan itu terhadap kalimatnya. Secercah harapan yang tadi hilang pun, kini ingin Mentari genggam lagi. Mungkin saja—
“Aku lagi berusaha buat bisa jatuh cinta—” Belum sampai ujung kalimat didengarnya, sorot mata perempuan itu kembali menyala oleh harap. Mungkin saja, mereka bisa melangkah menuju akhir cerita alternatif dari unrequited love. Mungkin saja— “—itu juga jawaban bohong.”
Mereka tidak sedang menuju jalan alternatif. Mereka jelas-jelas sedang menuju ke jalan yang tidak jelas itu. Satu-satunya jalan yang terbuka lebar sejak awal; uncertainty.
Heksa melipat kedua tangan di atas meja, sedikit mencondongkan tubuhnya, menunggu respon. Mentari meniru posisinya, menunggu jawaban lainnya. Sebisa mungkin ia terlihat tenang, sebisa mungkin ia terlihat seperti masih sanggup untuk berjam-jam percakapan lainnya. Sebisa mungkin ia tidak mendengarkan pikiran intrusifnya yang memintanya untuk lari dari percakapan ini —dari apa yang harus dihadapi.
Dengan tenang, ia bertanya.
“Jawaban jujurnya apa?”
Ia menatap Heksa penuh penantian. Masih, ia masih ingin berpegang pada harap yang tidak seberapa itu. Pada harap yang sudah jelas terbang itu. Ia masih ingin mengabaikan semuanya. Turut mengabaikan rollercoaster emosi yang dilaluinya sejauh percakapan ini berlangsung. Berandai-andai jika adegan hari ini sedikit lebih ramah untuk dilihat. Jika keduanya duduk penuh tawa alih-alih sorot yang penuh isyarat. Jika keduanya duduk dengan nyaman di sofa sambil menonton film akhir tahun. Jika ia bisa mengenggam tangan yang terasa begitu jauh itu.
Saat Heksa membuka mulutnya, rasa gugupnya memuncak.
“Belum bisa.” Ucap Heksa singkat, sebagai awalan. Belajar dari dua jawaban sebelumnya, kali ini Mentari tidak langsung mencernanya, tidak langsung bereaksi. Ia menunggu laki-laki itu memberi penjelasan lebih jauh. “Buat sekarang belum bisa, dan belum tau kapan bisa nya. Jadi lebih bagus disimpulin sebagai nggak bisa aja.”
Kali ini, Mentari tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya, kesedihannya. Ia pun tidak bisa mengabaikan rasa menusuk di hatinya atau gumpalan di tenggorokannya atau pedih di kedua matanya. Ia juga tidak bisa percaya, bahwa jawaban yang sebenarnya selalu ada sejak awal itu, rasanya sama sakitnya seperti sesuatu yang tidak pernah diprediksi.
That was the answer she'd have to deal with the moment she started the game. But she was never ready — she didn't want to be ready. She wished she'd never have to get ready for that answer.
Heksa memberi Mentari ruang untuk mencerna dan memproses jawabannya. Juga, untuk mencerna perasaannya sendiri. Laki-laki itu sendiri pun, tidak terlihat berada dalam posisi yang nyaman. Raut wajahnya tidak menampakkan rasa nyaman atau lega sedikitpun. Nada bicaranya tenang, kalimatnya diucapkan dengan lancar. Tapi wajahnya sekarang menunjukkan bahwa mengucapkan semua itu bukanlah hal yang mudah sama sekali. Sorotnya sendu bersalah, menyesal namun seperti tidak memiliki kuasa. Pundaknya turun kebawah, tidak tegak dan tidak percaya diri sama sekali.
He was ready to deal with everything, but that didn't mean it would be easy.
“Kenapa?” Setelah sekian menit berlalu, hanya itu yang mampu keluar dari mulut Mentari. Pertanyaan satu kata yang ia ucapkan ribuan kali dalam kepalanya. Kenapa?
Kenapa dibahas kalau memang berat? Kenapa tidak diabaikan saja?
“Aku jawab sejujur jujurnya ya,” Mulai Heksa, kali ini sudah kembali dengan raut yang tenang, yang menenangkan. Mentari tidak berkomentar apa-apa. Ia membiarkan Heksa langsung melanjutkan. “Because I'm never supposed to fall in love in the first place.”
And he warned her before.
“Then what are we, Samudera?” Tanya Mentari. Bulir air mata sudah mendobrak ingin keluar. Tenggorokannya tercekat. Suaranya terdengar putus asa, penuh harapan yang putus asa. “What were we?“
How they deal with unrequited feelings
One of the things about feelings is, they can be uncontrollable. Most of the time, they are uncontrollable. People get trapped in complicated relationships and hide behind the defense that they can't control their feelings. Everything just happens. People put others in a complicated and hard situation then they process to hide behind the defense that they're unable to control their feelings. Some others become the victims of the so-called uncontrollable feelings — of the uncertainty, the danger. Can we blame them, though?
Can we blame them, knowing damn well that we're just a mere human —flooded with emotions and desires all over our veins and vessels— that supposed to feel? Can we blame them, knowing damn well that we're all born with the same instincts to love and to desire something—someone, and that we're all weak to resistance? And the thing about feelings is, they are uncontrollable but we have to deal with it anyway.
It was impossible for Mentari to forget about the situation of her relationship with Heksa. It was impossible for her to forget that their story wasn't happy yet, it wasn't started yet. They were still in the middle of somewhere trying and figuring out everything. But there were times when she ignore them. There were a lot of times when she chose to ignore the reality underlying their relationship. That falling for him was a dangerous game and she would have to deal with the danger later. That the dangers seemed to be getting closer and closer. Sometimes, she chose to ignore the signs.
Because her feelings were uncontrollable.
Being aware of the dangers that surrounded their relationship wasn't the same as having control over it. She could spend days analyzing their relationship over and over again, finding the flaws, spotting the dangerous zone, calculating the risk; she could spend days trying to get control over her feelings and she'd fail immediately. She didn't want to control her feelings. She'd rather go crazy from finding the solution to solve their relationship's puzzle than control her feelings for him.
And it seemed like his feelings were uncontrollable too.
It might be all in her head but she could swear that sometimes, they looked like they were in love. Sometimes they looked so pretty, so happy as if they were always been like that and were supposed to be like that. She could swear that there were times when Samudera Khagi not only allowed her to love him but also allowed himself to love her —at least to try to love her. There were times when he let his intrusive thoughts, his uncontrollable feelings, his true wishes, and his selfish desires, took control over him. But then there were also times when he chose to put everything under control. There were times when he did not let himself follow his heart. The times when he drew lines between them.
Their feelings were both uncontrollable, what differentiates them was how they dealt with them.
Mentari tidak pernah membayangkan, adegan dirinya berdua di dapur bersama dengan orang yang disukainya, bercerita tentang hari masing-masing, sambil memotong-motong sebuah semangka di malam hari. Adegan yang terlalu specifically ridiculous. Tapi, jadi sesuatu yang biasa kalau orang yang dibicarakan adalah Heksa Samudera Khagi.
Benar, saat membuka pintu rumahnya, perempuan itu mendapati seorang laki-laki dengan setelan olahraga — kaos dan celana pendek, duduk di teras dengan sebuah — satu bulatan utuh — semangka dalam pelukannya. Wajahnya tersenyum sumringah, seperti kebanyakan waktu ia melihat laki-laki itu. Walaupun menurutnya, senyum itu sedikit tidak cocok dengan wajah tirus atau mata lelahnya. Dan di tengah lelah yang kentara itu, laki-laki itu malah jauh jauh mendatangi rumahnya — dan jangan lupa soal sebuah semangka di tangannya. Samudera Khagi selalu tidak pernah bisa ditebak. Selalu tidak pernah bisa dibaca dan dipelajari sepenuhnya.
“Terus aku tanya, emang nggak bisa yang ini dibelah dua? Katanya nggak bisa. Yaudah aku beli semuanya.” Begitu ceritanya tentang alasan dirinya membeli sebuah semangka utuh.
“Tapi kenapa semangka, Samudera? Musim panas udah lewat.” Tanya perempuan yang sedang memotong-motong buah menjadi bentuk segitiga kecil.
“Telat berarti ya?”
Musim panas sudah berlalu. Begitu pula langit biru jernih, awan putih tebal, dan matahari yang terang menyengat. Begitu pun cerita cerita musim panas yang menyegarkan, yang ceria. Beberapa waktu lalu, musim masih tidak menentu. Kadang sepanas musim panas, kadang begitu kelabu seperti musim dingin. Begitu pula cerita yang jadi tidak menentu. Bisa begitu ringan, begitu terlihat baik — terlihat bahagia seolah memang sudah seharusnya begitu. Bisa juga terlihat seperti langit mendung sebelum hujan deras. Belakangan ini hanya ada mendung di langit. Begitu pula dengan cerita yang terlihat akan mendarat pada titik gelapnya. Mereka mendarat di musim dingin.
But it seemed as if both were holding onto summertime. They refused to let go — if only they were to follow their heart.
“Kemana aja, Samudera?” Pertanyaan itu datang bersamaan dengan sepiring penuh semangka yang tersaji di meja. Sejenak, mengundang keheningan. Suasana kompleks perumahan yang dasarnya sudah sepi, televisi yang dimatikan, dan dua mulut yang terbungkam.
Tap
Tap
Tetesan air yang jatuh dari keran wastafel yang belum ditutup rapat membuat atmosfer menegang. Buah di piring belum disentuh, mulut belum dibuka. Hanya ada dua pasang mata yang saling menatap. Yang satu melayangkan tatapan teduh, namun bersalah. Yang satu lagi bertanya-tanya dengan tegas sambil berusaha mencari jawaban lewat sorot mata. Beberapa saat kemudian, Heksa tersenyum. Sebuah senyum meruntuhkan dinding tensi yang tegang itu. Senyum yang begitu teduh, begitu lembut, sampai sorot mata Mentari pun melunak.
“Makan semangka dulu ya.” Ucapnya sambil menyodorkan garpu pada Mentari. Ia pun menyerah untuk sementara dan membiarkan laki-laki di depannya mengatur obrolan mereka hari ini — as if she could ever maintain her defense in the first place. “Wah, manis.”
“Aku bingung dan khawatir kamu ngilang, kamunya malah asik belanja semangka ya?” Canda perempuan itu.
Mentari mengambil sepotong semangka dan memakannya. Sangat manis dan segar. Sejenak, untuk sejenak saja, ia melupakan semua tentang yang terjadi hari ini. Tentang Heksa yang muncul kembali setelah menghilang selama dua minggu, juga tentang kedatangannya untuk membicarakan semuanya — whatever was counted in that everything. Seperti pemanis yang menyeimbangkan situasi yang sedikit pahit sekarang. Setelah menyelesaikan sepotong semangka, Heksa membuka mulutnya.
“Baru baru ini aku gantiin temen ngajar privat anak kecil.” Mulainya, menarik perhatian Mentari. “Dia cerita katanya taun baru nanti dia ke Turki. Terus dia nanya, aku pernah ke Turki nggak. Aku jawab nggak pernah, soalnya mahal dan ribet. Terus dia bingung, soalnya dia taunya kalau mau ke luar negeri itu tinggal pergi aja, dan semua orang bisa.
Yang satu lagi cerita kalau dia belakangan ini bikin kebun bunga kecil di halaman, buat peri-peri transit kalau lagi capek. Dia habis nonton film Thumbelina. Dia nggak tau kalau yang lagi transit di kebun bunganya itu lebah sama kupu-kupu.”
“Children and their innocence.” Komentar Mentari. Bibirnya membentuk senyum simpul. Padahal dalam hati ia sibuk mevisualisasikan Heksa yang mengajar anak kecil. Sedangkan kepalanya sibuk menebak, kenapa obrolan keduanya dimulai dengan cerita ini.
“Nah menurut kamu, lebih bagus mereka nggak tau apa-apa kayak gitu dan seneng seneng aja sama apa yang mereka percaya, minusnya jadi nggak peka sama realita; atau mending dikasih penjelasan biar ngerti, tapi nantinya mereka sedih karena temen-temennya nggak bisa ikut ke luar negeri atau nggak ada peri mini di kebunnya?”
Mentari tertegun sebentar. Ia tidak akan pernah bosan untuk bilang bahwa Samudera Khagi tidak bisa ditebak. Pikirnya, awalnya, laki-laki itu hanya bercerita. Berbasa-basi bercerita tentang kesehariannya, sebagai bentuk ice breaking sebelum masuk ke percakapan yang sebenarnya. Setelah pertanyaan itu muncul, barulah Mentari menyadari apa yang sedang disampaikan. Lebih baik tahu kebenaran sebenar-benarnya tapi tidak sepenuhnya bahagia, atau lebih baik tertawa ria dalam ketidaktahuan. Itu adalah pertanyaan sebenarnya.
“Sebagai anak-anak, aku lebih milih buat percaya dunia itu isinya peri, putri, dan pelangi. Aku juga nggak akan peduli sama sistem-sistem di dunia ini. Karena kanak-kanak itu masanya buat bermimpi dan berharap.” Jawab Mentari, yang juga sudah menyelesaikan sepotong semangka yang tadi diambilnya. “Tapi aku dan kita bukan anak-anak. Kita nggak segampang itu buat percaya, Samudera.”
Dan kita harusnya — mau tidak mau — dihadapkan pada realita, kebenaran, bukan dijejali oleh dongeng utopia.
“Aku nggak gampang percaya sama kamu.” Lanjut Mentari. “Dari setiap cerita, setiap informasi, setiap jawaban yang pernah kamu kasih ke aku, aku nggak tau sejauh apa jujurnya dan sejauh apa bohongnya. Aku lebih nggak tau lagi sebanyak apa yang nggak kamu kasih ke aku.”
Lampu di dapur menyala dengan remang-remang. Tetapi Mentari masih bisa melihat sosok laki-laki di hadapannya dengan jelas karena ada cahaya dari ruang tengah yang tidak bersekat dengan dapur itu. Ia bisa melihat bagaimana Heksa melipat kedua bibirnya rapat, seolah menahan kata yang mungkin kekuar tanpa izin logikanya. Seperti Mentari yang mengambil sepotong semangka lagi agar mulutnya jadi sibuk untuk mengucapkan kata yang diinginkan oleh hatinya.
Tentang bagaimana ia mencari cari laki-laki itu, tentang bagaimana ia memikirkan kabarnya, dan tentang bagaimana ia merindukannya. Ia ingin bertanya lebih dari sekedar apa kabar. Ia ingin bertanya bagaimana kesehatannya belakangan ini, apa saja kegiatannya dua minggu ini, apakah ia selalu sendirian, apa ia sedang mengalami suatu masalah, apakah ia pernah memikirikan dirinya? Bahwa dibanding menuntut kebenaran, ia lebih ingin untuk menghujani laki-laki itu dengan rasa khawatir, rasa peduli, dan kalau boleh, kasih sayang.
Tetapi perasannya semata tidak bisa membawa hubungan ini kemanapun. Pada akhirnya selalu ada logika yang harus bertindak. Memutar otak memilah dan memilih langkah yang tepat. A relationship couldn't progress on its own, and she learned that she needed more than emotions.
“Aku nggak banyak bohong, kok. Tapi emang nggak jujur jujur banget juga.” Mulai Heksa dengan tenang, walaupun wajahnya menyiratkan sedikit cemas dan tidak nyaman. Percakapan ini rupanya bukan sesuatu yang ia nantikan. “Alesannya masih sama, karena nggak perlu kamu pikirin. Karena nggak perlu tau dan lebih baik nggak tau.”
“Aku nggak perlu tau kemana aja kamu selama ini?” Mentari menurunkan pandangannya. Senyuman pahit terukir di wajah. She was far from destroying his defense walls, let alone stepping inside the boundary. She was merely touching it. Meskipun begitu, ia tetap ingin tau. Meskipun katanya tidak perlu tahu, ia tetap ingin tahu. “Kamu kemana aja, Samudera?”
Gimana hari-harinya? Apa belakangan ini berat? Langit kamu mendung nggak? Tidur kamu nyenyak nggak? Makan apa siang tadi? Kamu sering senyum nggak belakangan ini? Nggak lupa bawa payung kan? Ngapain aja weekend kemarin? Kenapa nggak baca chat dari aku? Kamu kemana—
“Aku ada.” Jawab Heksa singkat. Melihat ketidakpuasan pada wajah Mentari, ia menambahkan. “Aku ada, aku masuk kuliah terus, aku nggak sakit, aku masih sempet nyapa kucing-kucing di kampus malah.”
Ada kelegaan sekaligus sedikit — sedikit sekali — rasa sakit yang menusuk mendengar jawaban itu. Merasa lega karena meskipun terlihat kelelahan, laki-laki itu selama ini menjalani hidupnya seperti biasa. Sedikit sakit karena jawaban itu artinya sama saja dengan pengakuan bahwa Heksa menghindarinya — dan karena jawaban itu belum semuanya.
“Kalau ada dan nggak kenapa-kenapa, harusnya nggak sampai hilang.” Komentar perempuan itu.
“Aku nya nggak kenapa-kenapa.” Balas Heksa. “Ada beberapa hal yang harus aku urus, tapi bukan sesuatu yang perlu kamu tau.”
Secercah harap tentang hubungan yang baik-baik saja kini sudah tidak terlihat hilalnya sama sekali. Hati yang pernah dengan sangat percaya diri menantang jalur yang tidak jelas itu, hati yang pernah dengan gegabah berkata siap pada segala resiko itu, kini menciut. Ternyata ia tidak siap sama sekali.
She wasn't ready to deal with the risk of unrequited love.
“Pertanyaan yang tadi masih berlaku kan?”
But he was ready.
Tubuh ramping itu kembali menegang. Jemarinya menggenggamn satu sama lain di atas meja. She could sense something was coming — she could sense it the moment he showed up on her porch. She was always knew, from the moment she stepped into the game. The danger was coming. Speaking of it, the signs were actually there. They were always there. But she ignored it. She ignored the signs of their downfall just like how she ignore the signs of her falling in love. Sekarang ia tidak bisa berlari dan mengabaikan lagi. Mentari mengambil napas dalam-dalam.
“Jadi jawaban dari pertanyaan aku apa?”
Tap
Tap
Suara tetesan yang jatuh dari keran di wastafel mengisi hening seperti sebuah timer. Menghitung mundur akan ledakan. Jemari yang saling menggenggam tadi kini sibuk memainkan satu sama lain, gugup. Merasa gugup untuk sesuatu yang sebenarnya sudah diprediksi sejak awal.
“Enggak bisa dan nggak akan bisa—” Jawaban yang diucapkan dengan tenang namun tegas itu seketika memekakan telinganya. Jantung Mentari sudah mencelos bahkan sebelum kalimat itu selesai. Padahal sekali lagi, semua ini bukannya berada di luar prediksi, melainkan sesuatu yang datang sepaket dengan unrequited love. Namun napas yang tercekat itu dilepaskan kembali saat ia mendengar lanjutannya. “—itu jawaban bohongnya.”
Mentari berkerut kening, bingung. Heksa memberinya tatapan yakin seolah mengiyakan pemahaman perempuan itu terhadap kalimatnya. Secercah harapan yang tadi hilang pun, kini ingin Mentari genggam lagi. Mungkin saja—
“Aku lagi berusaha buat bisa jatuh cinta—” Belum sampai ujung kalimat didengarnya, sorot mata perempuan itu kembali menyala oleh harap. Mungkin saja, mereka bisa melangkah menuju akhir cerita alternatif dari unrequited love. Mungkin saja— “—itu juga jawaban bohong.”
Mereka tidak sedang menuju jalan alternatif. Mereka jelas-jelas sedang menuju ke jalan yang tidak jelas itu. Satu-satunya jalan yang terbuka lebar sejak awal; uncertainty.
Heksa melipat kedua tangan di atas meja, sedikit mencondongkan tubuhnya, menunggu respon. Mentari meniru posisinya, menunggu jawaban lainnya. Sebisa mungkin ia terlihat tenang, sebisa mungkin ia terlihat seperti masih sanggup untuk berjam-jam percakapan lainnya. Sebisa mungkin ia tidak mendengarkan pikiran intrusifnya yang memintanya untuk lari dari percakapan ini —dari apa yang harus dihadapi.
Dengan tenang, ia bertanya.
“Jawaban jujurnya apa?”
Ia menatap Heksa penuh penantian. Masih, ia masih ingin berpegang pada harap yang tidak seberapa itu. Pada harap yang sudah jelas terbang itu. Ia masih ingin mengabaikan semuanya. Turut mengabaikan rollercoaster emosi yang dilaluinya sejauh percakapan ini berlangsung. Berandai-andai jika adegan hari ini sedikit lebih ramah untuk dilihat. Jika keduanya duduk penuh tawa alih-alih sorot yang penuh isyarat. Jika keduanya duduk dengan nyaman di sofa sambil menonton film akhir tahun. Jika ia bisa mengenggam tangan yang terasa begitu jauh itu.
Saat Heksa membuka mulutnya, rasa gugupnya memuncak.
“Belum bisa.” Ucap Heksa singkat, sebagai awalan. Belajar dari dua jawaban sebelumnya, kali ini Mentari tidak langsung mencernanya, tidak langsung bereaksi. Ia menunggu laki-laki itu memberi penjelasan lebih jauh. “Buat sekarang belum bisa, dan belum tau kapan bisa nya. Jadi lebih bagus disimpulin sebagai nggak bisa aja.”
Kali ini, Mentari tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya, kesedihannya. Ia pun tidak bisa mengabaikan rasa menusuk di hatinya atau gumpalan di tenggorokannya atau pedih di kedua matanya. Ia juga tidak bisa percaya, bahwa jawaban yang sebenarnya selalu ada sejak awal itu, rasanya sama sakitnya seperti sesuatu yang tidak pernah diprediksi.
That was the answer she'd have to deal with the moment she started the game. But she was never ready — she didn't want to be ready. She wished she'd never have to get ready for that answer.
Heksa memberi Mentari ruang untuk mencerna dan memproses jawabannya. Juga, untuk mencerna perasaannya sendiri. Laki-laki itu sendiri pun, tidak terlihat berada dalam posisi yang nyaman. Raut wajahnya tidak menampakkan rasa nyaman atau lega sedikitpun. Nada bicaranya tenang, kalimatnya diucapkan dengan lancar. Tapi wajahnya sekarang menunjukkan bahwa mengucapkan semua itu bukanlah hal yang mudah sama sekali. Sorotnya sendu bersalah, menyesal namun seperti tidak memiliki kuasa. Pundaknya turun kebawah, tidak tegak dan tidak percaya diri sama sekali.
He was ready to deal with everything, but that didn't mean it would be easy.
“Kenapa?” Setelah sekian menit berlalu, hanya itu yang mampu keluar dari mulut Mentari. Pertanyaan satu kata yang ia ucapkan ribuan kali dalam kepalanya. Kenapa?
Kenapa dibahas kalau memang berat? Kenapa tidak diabaikan saja?
“Aku jawab sejujur jujurnya ya,” Mulai Heksa, kali ini sudah kembali dengan raut yang tenang, yang menenangkan. Mentari tidak berkomentar apa-apa. Ia membiarkan Heksa langsung melanjutkan. “Because I'm never supposed to fall in love in the first place.”
That was his circumstances and he warned her before.
“Then what are we, Samudera?” Tanya Mentari. Bulir air mata sudah mendobrak ingin keluar. Tenggorokannya tercekat. Suaranya terdengar putus asa, penuh harapan yang putus asa. “What were we?“
Pikiran perempuan itu berkelana pada waktu-waktu yang sudah keduanya lalui. Dimulai dari hari pertama mereka bertemu, puluhan agenda makan bersama, hari saat keduanya berjualan bunga bersama dan laki-laki itu mengizinkan nama panggilan Samudera untuk Mentari gunakan, senyuman yang dilemparkan setiap ia memasukkan bola ke dalam ring basket, foto-foto yang tersimpan di galeri ponsel masing-masing, semua itu apa? Bukankah Mentari setidaknya berhasil memasuki satu lapisan dinding lebih jauh dibandingkan orang lain?
“Apa semuanya itu imajinasi aku, atau aku yang salah ngartiin, Samudera? Did I understood the signs wrong? What were we, Samudera?” Tanya Mentari beruntun.
“Aku nggak punya jawaban yang bisa nyenengin kamu, Tar.” Kali ini, Heksa sedikit tertunduk. Jeda yang ia ambil sebelum melanjutkan kalimatnya cukup panjang. “Aku nggak bisa jatuh cinta, tapi sikap aku kontradiktif dan aku sangat sadar sama hal itu. Aku sadar kalau aku lama-lama, turun juga pertahanannya. I welcomed your love, and I enjoyed it.
But the truth is, I was caught off guard, Tar. I never plan to develop romantic feelings for anyone. Aku nggak tau kenapa sikap aku berlawanan sama keputusan aku. Aku nggak tau sejak kapan, karena apa. Aku nggak tau mulainya dari mana. Aku nggak tau kenapa kita makan bareng, kenapa aku ngajakin kamu nonton aku main basket, kenapa aku nggak nolak ajakan pergi kamu, kenapa kita telfonan tengah malem, atau kenapa kamu ada di apartemen aku. Aku nggak tau kenapa kita bisa jadi kayak gini. Aku bingung karena aku nggak bisa jatuh cinta sekarang, tapi bukan nggak mau. Aku nggak boleh jatuh cinta, tapi aku nggak pengen nolak. Aku bingung karena aku nggak tau jawabannya apa. Tapi aku tau, kalau diterusin nggak akan bagus akhirnya.”
Heksa tidak sepenuhnya benar. Jawabannya memang tidak menyenangkan hati Mentari sepenuhnya, namun tetap menyenangkannya sedikit. Jawaban itu menyenangkan hatinya sedikit; menghiburnya dengan harap —lagi-lagi harapan— bahwa setidaknya perasaan itu tidak sepenuhnya satu arah. Maybe they looked like they were in love because they did in love. He did fell for her, if only he allowed himself to, perhaps. Bahwa pendapat itu tidak hanya ada di dalam kepala Mentari saja, melainkan sesuatu yang nyata. Meskipun berlalu dengan sangat singkat.
“Dan ternyata emang nggak seharusnya jatuh cinta, sampai sekarang, dan entah kapan.” Lanjutnya pelan. “Everything between us was never in my plan, but I couldn't let go of it.“
Because his feelings were uncontrollable. And he was also a mere human, having no full control of his feelings; having no full control over love. And he was also a mere human, weak for love.
“But we were the first thing you let go when things became hard for you.” Kalimat itu meluncur dari mulut Mentari seperti sebuah bisikan. Terdengar namun pelan. Jelas tidak diucapkan dengan nada senang, melainkan kekecewaan. Kekecewaan yang ia sendiri pun tidak tahu, apakah boleh ia rasakan atau tidak. Karena bagaimana pun, ia melangkah dengan kedua kakinya sendiri ke dalam situasi ini.
“Exactly, Tar. Aku bakalan selalu punya prioritas lain. Aku bakalan selalu punya hal lain buat dipikirin. You and we will be at the bottom of my list. We were and we would always be the first thing I let go of.” Heksa masih berbicara dengan tenang dan lembut, seolah itu adalah satu-satunya gayanya bicara. Meskipun begitu suaranya terdengar frustasi, dan kelelahan. Entah lelah atas apa yang ia jalani, atas apa yang sedang ia tanggung; atau lelah atas hubungan tanpa arah yang tidak bisa ia arahkan ke jalan yang pasti ini. “I have a lot in my plate. I have things to take care of. I have things to think of. And love is my last option. It might be never an option at all.”
“That's the risk of falling in love with you.” Lirih Mentari.
“That's the risk and the condition I don't want you to take.” Ucap Heksa, melengkapi —atau mengkoreksi ucapan Mentari sebelumnya. “Love is a dangerous game for the both of us.“
He could lost his way, and she could lost him.
Tapi pertanyaan yang akhirnya muncul masih sama. Kenapa? Kenapa seperti itu? Kenapa demikian? Apa yang dilalui oleh Heksa Samudera Khagi sampai bisa berkata demikian? Apa yang menahannya?
“What's your risk?” Tanya Mentari dengan sedikit urgensi. “We might be able to work it out, I might be able to—if only you tell me everything, Samudera.”
“Aku nggak bisa, Tar. I can't tell you.” Geleng Heksa pelan. “It's for me to bear, not you.“
Lagi-lagi, Heksa tidak jujur sepenuhnya. Laki-laki itu tidak berbohong sama sekali, Mentari yakin dan percaya. Tapi ia juga yakin dan percaya bahwa ada jawaban yang lebih yang bisa diberikan. Ada lembaran cerita yang tidak dan tidak pernah ia ketahui. Ada jawaban tentang kenapa begitu sulit bagi Heksa untuk jatuh cinta — untuk membiarkan dirinya sendiri tenggelam dalam cinta. Ada jawaban lebih tentang kenapa ia tidak bisa menambahkan cinta ke dalam porsi hidupnya. Ada jawaban lebih tentang kenapa cinta dan Mentari tidak bisa menjadi prioritasnya.
“I am sorry, Mentari.”
Berat. Seiring percakapan berlalu sesuai prediksi, semakin berat atmosfer di sekitar keduanya. Tidak ada yang meninggikan suara, tidak ada yang menjadi keras kepala. Hanya ada dua manusia yang sama-sama bingung dan bertanya-tanya, kenapa takdir tidak lebih ramah pada keduanya.
Dan membuat menyerah terdengar lebih mudah dari pada bertahan.
“Ternyata aku nggak bisa ngebiarin kamu jatuh cinta sama aku, Mentari —aku nggak bisa ngebiarin diri aku sendiri jatuh cinta sama kamu.”
Dan keduanya kembali pada titik awal. Bukan titik awal percakapan ini, melainkan titik awal dari hubungan ini. Titik yang seharusnya menjadi langkah awal yang Mentari ambil.
Tapi sekali lagi, perasaan dan keinginan manusia itu sulit untuk dikontrol. Mentari tidak bisa semudah itu berhenti, meskipun menyerah terdengar mudah.
“Tapi aku juga nggak bisa berhenti dengan gampang, Samudera.” Ucap perempuan itu. “Gimana aku bisa berhenti, knowing the fact that you did develop feelings for me? And the fact that we could be something?”
“Can you stand this relationship?”
Jawabannya adalah tidak. Terlalu berat, terlalu sulit karena Mentari harus menunggu dan menunggu tanpa tahu. Tanpa diizinkan masuk sepenuhnya ke dalam kehidupan Heksa Samudera Khagi. Tapi apa ia bisa menolak dengan tegas? Tidak juga. Because the idea of being able to love him, and the idea of him receiving her love, and the idea of they being fine were tempting.
“Kalau gitu kamu bisa benci aku nggak, Samudera?”
Kali ini, Heksa tidak menjawab. Mungkin karena tidak punya jawaban yang menyenangkan. Mungkin tidak punya jawaban sama sekali, dan karena tidak diperlukan jawaban. Sorot mata laki-laki itu sudah jelas menyampaikan bahwa jawabannya adalah tidak. Tidak bisa bersama tapi saling membenci juga bukanlah hal yang diinginkan. Katanya kehilangan dan dibenci oleh Mentari itu adalah resikonya dalam permainan ini —salah satu resikonya, tetapi sorot matanya dengan jelas mengatakan bahwa ia tidak mau menanggunh resiko itu. Mungkin yang diperlukan adalah waktu. Untuk mencerna semuanya, untuk menilai kembali semuanya, dan membuat keputusan yang baru.
They needed time to decide how they wouldal with unrequited feelings.
“Aku pulang ya, Tar.”
Dengan itu, percakapan panjang itu pun dianggap selesai. Selesai dengan kesimpulan bahwa Samudera Khagi tidak bisa jatuh cinta walaupun menginginkan cinta itu; dan bahwa Mentari masih ingin mencintainya meskipun sulit. Selesai dengan kesimpulan bahwa keduanya harus menghitung ulang, merangkai ulang — merekonstruksi hubungan mereka berikut keputusan masing-masing.
Tapi sementara waktu ini, bolehkah jika masih berpegang pada keputusan yang lama?
“Mentari,” Heksa yang sudah tiba di ambang pintu untuk berpamitan pulang itu, berbalik lagi pada si tuan rumah. Mentari menatapnya sedikit bingung.
“Kenapa?”
“Selamat ulang tahun, Mentari.” Laki-laki itu tersenyum. Senyuman tulus nan cantik seperti yang biasa Mentari lihat. “Belum jam 12 sih, tapi nggak apa-apa, biar aku jadi yang pertama ngucapin. Semoga dikelilingi hal-hal baik, sering bahagia ya, Mentari.”
And how could she resist her feelings, if he also found it hard to resist his own?
Dan senyuman sabit itu berubah jadi cengiran. Lalu seperti virus, senyum itu menular. Kini Mentari pun tersenyum. Seolah keduanya bukan baru menyelesaikan percakapan yang menguras emosi. Panggil Mentari bodoh tapi perempuan itu, sampai detik ini, masih menatap Heksa dengan sorot berisikan cinta. Mentari tidak ahli dalam membenci dan melepaskan.
“Kalau gitu jangan pulang dulu, tunggu sampai jam 12.”
She didn't want to deal with their feelings just yet.
Kamu dengerin aku nggak sih, sepanjang ngobrol tadi?” Heksa bersilang tangan di dada sambil menyandarkan tubuh ke ambang pintu.
“Kamu dengerin aku nggak?” Mentari ikut menyilangkan tangan di depan dada. “Kamu dengerin diri kamu sendiri nggak?”
Laki-laki itu tertegun, seperti langsung paham apa yang dimaksud oleh Mentari. Sikapnya masih kontradiktif. Tidak bisa jatuh cinta, tapi kesulitan juga untuk menjaga jarak. Dan Mentari, masih belum ingin menyerah meski sudah diminta. Yang masih mencari-cari harap yang sedari tadi datang dan pergi.
“If there were no circumstances that hold you, would you fall for me?” Tanya Mentari. Seolah percakapan panjang sebelumnya belum cukup bermain dengan emosinya. “Karena aku mau ulang taun, tolong kasih jawaban yang spesial — follow your intrusive thoughts.”
He did. He grabbed her hand and held it gently, rubbed her knuckles with his thumb. She felt a tingling sensation in her stomach each rub. But then reality stabbed her chest like tiny needles. This was only a what if. What if he chose to deal with unrequited feelings the selfish way.
And call him an asshole for being unable to control his feelings, maybe. For his contradicting, confusing, and indecisive actions.
“Immediately.” Ucap Heksa pelan. Namun segera setelah kalimatnya terucap, ia melepaskan tangan itu. “I can't, I must never follow my intrusive thoughts, though. Aku pulang ya.”
Perhaps, deep down, he didn't want to deal with his feelings and their relationship this way. And maybe, she knew it.