let me tell you a tale — Dari Mentari: I watched him from afar


Selama aku kenal Samudera, dia selalu bilang kalau apapun yang menganggu pikiran dia, itu bukan sesuatu yang harus pikirin. Apapun yang dia laluin, aku nggak perlu tau. Setelah kita bikin peraturan buat masing-masing, aku nggak banyak denger soal Samudera dan dari Samudera. Awalnya aku pikir mungkin gampang buat Samudera. Segampang itu buat mengabaikan aku, dan kita. Ternyata, yang gampang itu bukan jauh dari satu sama lain, tapi bisa fokus sama urusannya sendiri tanpa cemas soal orang lain yang nggak ada kaitannya. Jauh dari aku, ternyata mempermudah Samudera buat fokus sama dirinya sendiri, hidupnya sendiri, dan urusan apapun itu yang selama ini menuhin kepalanya.

Selama kita minim interaksi itu bukannya aku nggak liat Samudera sama sekali. Kita masih ketemu satu sama lain walau tiap pertemuan nggak bertahan lebih dari lima menit. Kita masih ngobrol walaupun tiap obrolan nggak akan lebih dari sepuluh chat bubble. Aku pun masih merhatiin Samudera dari jauh. Tapi mau tau apa lucunya?

Selama kita minim interaksi itu, aku justru ngeliat lebih banyak Samudera dibanding sebelumnya.

Aku ngeliat Samudera belanja bahan makanan sama ibunya yang dia panggil Ami. Aku ngeliat Samudera ngobrol sambil ketawa-ketawa sama temennya. Aku ngeliat Samudera dapet bingkisan dari seseorang yang aku asumsikan sebagai kerabatnya. Aku ngeliat Samudera yang lagi jadi anak yang berduka. Aku ngeliat Samudera yang main basket sendirian malem-malem kayak orang gila. Aku ngeliat Samudera yang lagi jadi abang yang sayang sama adiknya. Aku ngeliat Samudera yang keliatan semangat soal ngasih seiket bunga ke adiknya dan Samudera yang keliatan muram sendirian di dalem mobilnya di satu hari yang sama. Dan akhirnya aku ngeliat dia nangis sendirian di pinggir danau —danau yang sama yang katanya, cuma tempat yang punya kenangan masa kecil.

I saw more of him than I had seen before, both literally and figuratively.

Rasanya sedikit deja vu. Dulu aku pun ngeliat dia di danau itu, dan aku punya asumsi yang sama: Samudera bukan sekedar Samudera. Asumsi bahwa dia punya banyak cerita yang disembunyiin dan aku mungkin hadir sebagai seseorang yang bisa bantu dia. Cerita klise dimana Samudera adalah laki-laki penuh misteri, dan aku ini perempuan penyelamat yang ngeluarin dia dari misteri itu. Samudera ngebantah hal itu dengan bilang nggak ada apa-apa, dan aku pernah nyoba buat percaya. Walaupun ngeliat situasi sekarang, aku yakin kenyataannya memang selalu ada apa-apa. Dan kali ini, jelas ada apa-apa.

Aku nggak akan bosen buat bilang Samudera itu misteri yang nggak terbatas. Teka-teki yang nggak akan bisa aku jawab tanpa cheat code. Buku yang nggak akan bisa sepenuhnya aku baca karena ada terlalu banyak bab tersembunyi. Sejauh apapun aku nyari tau, bakalan selalu ada yang aku nggak tau. Salah satunya soal betapa hebatnya, ternyata, badai yang dilaluin sama Samudera. Bahwa apa yang dia prioritasin sekarang itu, nggak seklasik pendidikan, mimpi, dan keluarga. Bahwa apa yang dia prioritasin dan dia hadapin sekarang itu jauh lebih kompleks.

Kompleks, rumit, dan berat. Cukup berat sampai bisa bikin Samudera udah keliatan capek dan pucet di awal semester. Cukup berat sampai bisa bikin Samudera yang tenang itu kesusahan. Cukup berat sampai dia perlu nangis —dan mungkin cuma bisa ngelampiasin kesulitannya lewat nangis. Keliatannya juga, terlalu berat buat ditanggung sendirian. Dan keliatannya, ini adalah sisi dari Samudera yang selama ini mati matian dia sembunyiin.

Aku ngerasa marah dan sedih. Karena ngeliat Samudera yang kesulitan juga sulit buat aku. Aku ngerasa marah dan sedih ngeliat Samudera yang sedih itu, mungkin karena kayak kata Zoya, hati aku terlalu lembut, terlalu baik, dan terlalu gampang jatuh cinta. Aku juga marah dan sedih karena lagi-lagi Samudera nyembunyiin semua ini dibalik senyum dan ketawanya. Aku marah dan sedih karena lagi-lagi, orang yang keliatan bahagia itu justru yang paling nyimpen luka. Dan aku sedih karena Samudera yang aku sebut cantik itu ternyata nggak secantik itu kalau diliat dari matanya sendiri. Kemudian aku jadi marah lagi karena fakta bahwa aku lagi-lagi gagal buat ngebaca Samudera, dan terkecoh sama tenangnya dia—yang hari ini dan ternyata selama ini nggak tenang sama sekali.

He is calm as an ocean, but an ocean is not always calm, isn't it?

Rasa marah dan sedih itu pun berlanjut. Aku ngerasa marah dan sedih karena nggak ada yang bisa aku lakuin selain liat dari jauh. Aku ada di sana, di sekitar Samudera, tapi aku nggak tau apa-apa. Aku ada di sekitar Samudera tapi aku nggak berhasil buat ngebaca dia dengan baik. Dan aku ada di sana, di sekitar Samudera, di deket danau itu, tapi aku nggak bisa ngelakuin apapun.

Nggak ada yang bisa aku lakuin, karena ada garis yang aku bikin sendiri. Ada garis yang disetujui kita berdua. Ada garis yang Samudera gambar permanen. Nggak ada yang bisa aku lakuin, karena Samudera nggak akan ngizinin aku buat ngelakuin sesuatu. Nggak ada yang bisa dan boleh aku lakuin selain ngeliat dari jauh, dan berharap semoga badai apapun yang lagi Samudera lewatin, cepet berlalu.

Dan akhirnya memang cuma itu yang aku lakuin. Aku cuma duduk dan ngeliat Samudera dari jauh. Aku ngeliat gimana pandangannya lurus ke arah danau yang tenang, aku ngeliat gimana bahunya naik turun setiap dia menghela napas berat, aku ngeliat dia duduk bersandar di kursi sambil nundukkin kepalanya. Aku ngeliat dua tangannya bergerak buat nutupin wajahnya — dan buat menyeka sedikit air mata di sana. Dan akhirnya aku ngeliat dia bangkit, berdiri, dan jalan dengan tegap dan kuat lagi. Dan aku cuma bisa ngeliat semua itu dari jauh, sambil berharap semoga badai apapun yang Samudera lewatin, cepet berlalu dan jangan datang lagi.

Aku cuma bisa liat dari jauh sambil berharap kalau suatu hari, Samudera nggak perlu nanggung semuanya sendirian.

Tapi disaat yang bersamaan, aku bisa sedikit ngerti kenapa Samudera milih buat nanggung semuanya sendirian—kenapa dia se nggak mau itu cerita ke aku. Karena masalahnya nggak sederhana dan nggak biasa. Karena masalahnya bukan sesuatu yang bisa diselesain dengan bantuan orang lain —bantuan aku. Karena masalahnya nggak ada kaitannya sama orang lain —sama aku. Dan mungkin karena memang sama sekali bukan area aku buat ngebantu.

Aku pun akhirnya milih buat nggak ngelewatin garis itu. Walaupun kalau boleh, aku nggak mau sekedar liat aja. Kalau boleh, aku pengen nyamperin Samudera dan nemenin dia buat ngelewatin semua ini.