let me tell you a tale — Dari Mentari: I Thought I Knew Something


Banyak yang bilang kalau orang paling ceria itu sebenernya yang paling menderita. Jujur, aku pernah ngerasa nggak suka sama opini ini. Bukan karena aku nggak percaya, tapi karena opini itu berubah jadi sebuah stereotip. Stereotip bahwa orang yang biasanya tertawa paling kenceng, bawa cerita paling lucu, dan paling sering senyum itu sebenernya cuma lagi menyembunyikan masalahnya, lukanya. Memang kebanyakan, mereka yang terluka itu memilih kebahagiaan sebagai topeng, sebagai cara bertahan. Karena solusi yang paling mudah adalah melupakan; berpura-pura kalau luka, kesedihan, dan masalah itu nggak ada. Tapi, nggak sedikit juga yang bahagia karena mereka memang bahagia.

Kalau aku pikir-pikir lagi, kayaknya alesan aku ngerasa skeptis sama opini itu adalah karena aku pengen percaya kalau semua orang itu bahagia. Aku pengen percaya kalau orang-orang disekitar aku itu bahagia. Tawa mereka, candaan mereka, senyun mereka, semuanya nyata — bukan topeng yang sengaja dibuat karena mau menutupi luka. Aku pengen percaya kalau mereka yang membawa kebahagiaan buat aku, juga bahagia. Karena aku berharap, mereka semua memang bahagia dan bukannya lagi menyembunyikan luka.

Sayangnya, kalimat opini itu tingkat akurasinya tinggi. Sayangnya, orang-orang disekitar aku nggak terlepas dari stereotip yang dibawa oleh kalimat itu. Orang-orang di sekitar aku juga, ada — mungkin banyak — yang menjadikan kebahagiaan sebagai topeng mereka. Dan sayangnya aku terlalu sering ngeliat kasus nyatanya di sekitar aku, di antara orang-orang terdekat aku. Oma pernah ngajakin satu keluarga liburan, karena katanya suasana hatinya lagi bagus. Di antara keluarga yang lain, Oma yang paling sering keluar jalan-jalan dan belanja selana liburan. Tapi ternyata Oma lagi nyari suasana baru buat ngelupain kepergian Opa. Zoya pernah ngajakin aku ke Dufan dan nggak mau pulang sebelum kita naik semua wahana. Dia ketawa dan teriak heboh hampir di setiap wahana. Keliatannya, adrenalin dia lagi tinggi aja. Tapi ternyata dia baru diselingkuhin pacarnya waktu itu. Lebih parahnya lagi, aku hampir kehilangan Zoya karena aku telat buat sadar.

Ternyata, sayangnya, ada banyak orang yang berhasil membawa kebahagiaan buat aku, tapi gagal membawa kebahagiaan buat dirinya sendiri. Dan yang paling aku nggak suka itu fakta kalau di kebanyakan waktu, aku nggak bisa menolong mereka. Entah karena aku nggak sadar, atau telat sadarnya. Mungkin juga, karena mereka sengaja nggak mau bikin aku sadar dan peka. Kadang, aku sadar dan peka, tapi nggak dikasih celah buat masuk. Itu yang paling aku nggak suka. Aku tau mereka terluka dan menderita, tapi aku nggak bisa ngelakuin apapun — aku nggak dikasih izin buat ngelakuin apapun. Orang-orang itu milih buat nyembunyiin lukanya rapat rapat, dan akhirnya aku nggak bisa ngelakuin sesuatu selain merhatiin mereka dari jauh.

Mungkin karena itu, aku jadi nggak bisa diem aja disaat mulai ngerasa orang-orang disekitar aku nyembunyiin sesuatu. Aku nggak bisa diem aja disaat orang-orang disekitar aku berpotensi nyembunyiin sesuatu dibalik senyum mereka, dibalik tingkah lucu mereka, dibalik tenangnya mereka. Dan kadang, aku nggak bisa nggak berpikir negatif disaat aku ngeliat orang-orang di sekitar aku nunjukkin sikap yang berbeda.

Salah satunya Samudera.

Aku nggak tau apa-apa soal Samudera Khagi. Selama satu semester kenal dia, nggak banyak yang aku tau. Aku cuma tau sebanyak yang Samudera kasih tau ke aku; informasi dasar kayak nama, jurusan, area tempat tinggal, nomor telepon dan media sosial. Mungkin aku tau beberapa sifat dan kebiasannya juga; ngobrolin hal nggak penting, misahin bawang merah dari nasi gorengnya, ketawa dengan nada hehehe, dan pake pengharum yang wanginya kayu-kayuan di mobilnya. Tapi aku cuma tau sebanyak yang Samudera kasih liat ke aku. Bahkan hal mendasar tentang satu sama lain pun, kita masih banyak nggak taunya. Makannya waktu Zoya nanya-nanya, aku pun nggak bisa banyak jawab, nggak bisa juga setuju atau membantah opini dia.

Tapi selama waktu yang terbilang singkat itu, udah ada banyak tawa dan kebaikan yang dibawa Samudera buat aku. Obrolan-obrolan nggak pentingnya itu seru buat disimak. Sifat dan pemikiran random-nya bikin aku ketawa. Dia selalu nunggu gojek pesenan aku dateng kalau kita lagi part-time bareng. Kadang dia nawarin buat makan bareng sambil nunggu hujan reda, dan aku juga sering ngajakin dia makan siang bareng kalau lagi di kampus. Dia ngejaga hubungan baik sama aku kayak gimana aku ngejaga hubungan baik sama dia. Kita saling bales status di media sosial, kita saling nyapa kalau ketemu, dan kita saling ngobrol di waktu luang.

Ukuran dari suatu hubungan itu emang nggak selalu pasti dan jelas; tapi kalau aku harus ngukur hubungan aku sama Samudera, aku rasa kita cukup deket — mungkin terlalu deket — untuk sekedar dibilang temen biasa. Tapi aku masih nggak tau apa-apa. Aku nggak tau makanan kesukannya apa, golongan darahnya apa, dia punya alergi apa, ataupun artis idolanya siapa. Alamat rumah pastinya aja aku nggak tau. Ah, tanggal lahirnya juga nggak tau. Kita ini pada dasarnya temenan baik tapi pengetahuan aku tentang Samudera bahkan belum nyentuh batas kriteria minimal buat bisa disebut temennya. Kebanyakan hari, aku ngerasa nggak ada yang salah sama sekali. Mungkin memang kayak gini tipe pertemanan yang Samudera suka. Mungkin memang kadang kita nggak perlu tau banyak buat bisa jadi temen deket. Tapi sesekali, aku ngerasa kalau aku harus berbuat sesuatu. Kadang-kadang, rasa penasaran aku tentang Samudera itu kerasa tinggi banget sampai aku kepikiran buat mulai serius nyari tahu banyak hal tentang dia. Dan suatu hari, aku nemuin sesuatu tentang Samudera. Or at least, I thought I saw something.

Hari itu, aku ngeliat Samudera duduk sendirian di pinggir danau.

Itu adalah pertama kalinya aku ngerasa kalau aku tau sesuatu yang mungkin nggak seharusnya aku tau tentang Samudera. Aku tau sesuatu yang mungkin nggak akan pernah aku tau. Aku tau sesuatu yang nggak akan pernah Samudera kasih liat ke aku. Aku nemuin cerita yang disembunyiin. Aku percaya demikian. I discovered a new side of him.

Bukan Samudera yang sibuk kuliah dan kerja paruh waktu. Bukan juga Samudera yang haha hehe sambil bahas hal nggak penting. Dan pastinya bukan Samudera yang senyum puas setelah berhasil dapet promo makanan. Yang aku liat hari itu adalah Samudera yang tenang, dan sendirian. Samudera yang keliatan setenang samudera, tapi disaat yang bersamaan keliatan terlalu tenang buat jadi seorang Samudera. Dan aku nggak bisa nggak berpikir kalau Samudera memang nyembunyiin berbagai sisi dirinya yang lain. Aku nggak bisa nggak berpikir kalau Samudera mungkin nyembunyiin suatu luka dibalik senyum dan tawanya itu. Aku nggak bisa nggak berpikir kalau dia lagi nggak baik-baik aja — dan aku harus ngelakuin sesuatu.

Aku ngeliat banyak kasus, dimana orang-orang disekitar aku hancur dibalik tawa dan kebahagiaan palsu mereka. Aku ngeliat berapa banyak luka yang mereka sembunyiin dibalik senyuman mereka. Mungkin karena itu, disaat aku ngeliat Samudera yang duduk sendirian di pinggir danau, aku langsung ngerasa kalau dia kenapa-kenapa. Aku takut kalau dia ternyata kenapa-kenapa. Aku takut kalau lagi-lagi, orang yang paling keliatan bahagia di sekitar aku itu sebenernya lagi terluka.

And that's why I took a step closer.

Tapi ternyata, dibanding nemuin sesuatu, aku malah nggak nemu apa-apa. Sama sekali. Apa yang aku asumsiin sebagai cerita klise dimana aku nemuin sisi sekaligus rahasia Samudera, ternyata bukan apa-apa. Bahkan, nggak mendekati asumsi aku sama sekali. Jawaban dari rasa penasaran aku pun, ternyata bukan apa-apa. Aku pikir aku bakal nemuin sesuatu, aku bakal bisa menggali sesuatu. Tapi yang aku temuin cuma Samudera. Dia cuma Samudera Khagi.

Dia cuma Heksa Samudera Khagi dengan segala sifatnya. Baik dan lembut, gampang akrab, lucu dan kadang aneh, ambisius tapi mageran juga, workaholic tapi kayaknya gampang sakit, suka bercanda, pendiem dan tertutup tapi bukan ansos. Dia cuma Heksa Samudera Khagi yang menghilang tanpa kabar karena terlalu sibuk, kadang sakit; melamun sendirian di danau karena dia suka tempatnya; nggak banyak cerita tentang dirinya sendiri tapi dia bakal jawab kalau ditanya. Dia cuma Heksa Samudera Khagi, kayak yang aku liat.

Aku nggak tau aku yang emang salah asumsi atau Samudera yang emang ahli nyembunyiin dirinya. Tapi aku harap aku bisa percaya kalau nggak ada apa-apa tentang dia, ataupun orang lain di sekitar aku. Aku harap aku emang bisa percaya kalau orang-orang di sekitar aku itu bahagia.